Music

Kamis, 23 April 2015

Selasa, 21 April 2015

Kegiatan yang ada di Suku Baduy



foto saudara waktu perjalanan ke Baduy


Jenis kendaraan apapun harus ditinggalkan Desa Cibolegar dan mulailah Anda menjelajahi alam Baduy dengan berjalan kaki. Suasana di kawasan Baduy sangat sejuk dan alami, tidak ada polusi udara dan pencemaran lingkungan. Perjalanan dari kampung ke kampung lainnya dilalui lewat jalan setapak yang kadang-kadang melintasi sungai dan bukit-bukit atau melewati jembatan bambu berkonstruksi alami tanpa menggunakan paku.

Akan mengejutkan Anda untuk mengetahui bahwa ada begitu banyak hal yang bisa dilakukan tanpa bantuan listrik atau alat industri mpdern lainnya. Kenyataannya Suku Baduy dapat bertahan hidup dengan baik dengan cara kearifan lokal yang mengagumkan.

Udara di kampung ini sangat menyegarkan, membuat Anda akan lupa lelahnya badan setelah perjalanan. Dalam perjalanan di kampung amati oleh Anda bagaimana jembatan bambu tipis melengkung panjang di atas sungai dimana di ujungnya adalah kawasan Baduy Dalam.

Di Dusun Cibeo Anda akan melihat pemandangan yang unik dan luar biasa. Rumah-rumah panggung tertata rapi, dengan ukuran yang sama, berjajar-jajar. Tiap rumah memiliki interior yang kurang lebih sama. Di dalamnya, ada sebuah ruang persegi panjang, menyisakan ruang berbentuk L untuk sisa ruangan. Ada tungku di kedua ruang, membuat atap daun itu menghitam di dalam. Dinding anyaman. Beranda batang-batang bambu, dengan undakan pendek ke tanah. Di tengah terdapat lapangan berundakan rendah. Di satu ujungnya ada balai tempat acara-acara dusun. Di ujung satunya adalah tempat tinggal Puun, tetua desa. Dusun ini dikelilingi gunung, jadi gelap cepat datang. Dan yang bisa Anda lakukan hanyalah berbincang dengan penduduknya yang ramah di dalam rumah.

Sehari-hari, orang Baduy menggunakan bahasa Sunda berdialek Sunda-Banten. Namun, banyak dari mereka yang sudah bisa berbahasa Indonesia dan terbiasa melakukan interaksi dengan pengunjung. Mereka sering menjadi penunjuk jalan atau pengangkut barang. Orang Baduy juga tidak keberatan apabila Anda bertanya seputar ajaran dan adat istiadatnya.

Setiap warga Baduy dituntut untuk melestarikan lingkungannya karena menurut pandangan mereka alam semesta dan isinya adalah milik yang di Atas dan harus dijaga jangan sampai rusak. Alam harus dilestarikan untuk kepentingan masa depan anak dan cucu mereka. Suku Baduy dilarang menebang pohon di hutan-hutan yang telah ditentukan. Hal ini membuat udara menjadi segar dengan alam yang terhampar hijau dimana-mana. Langit terlihat bersih. Begitu juga dengan kicauan burung, kokok ayam, dan gemericik air jernih yang menjadi mudah didengar.

Berada di perkampungan Baduy terasa seperti kita berada dalam suasana zaman dahulu. Masyarakatnya masih hidup dalam nilai-nilai tradisional yang kental, tidak ada sentuhan teknologi modern sama sekali. Jika malam tiba suasana hening, tenang dan gelap datang menyergap. Tidak ada gemerlapan cahaya lampu listrik, yang ada hanya kedipan sinar yang berasal dari lampu teplok yang diisi dengan minyak kelapa atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa. Di perkampungan ini yang terdengar hanyalah suara alam dengan gemericik air dari sungai yang berbatuan, suara kicau burung dan desau angin menerpa dedaunan. Air kalinya bening, karena orang dilarang memakai produk yang mengandung zat kimia, seperti sabun, pasta gigi dan sampo dan dilarang membuang sampah di sungai. Masyarakat Baduy untuk membersihkan badannya selalu di kali dan memakai pembersih tradisional dari dedaunan atau getah akar pohon.
Adat istiadat suku Baduy (kakenes)


Mama dan Adik saya waktu di Baduy




Suku Baduy memiliki adat istiadat yang sangat kental. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri, Keseharian kaum lelaki Baduy menggunakan ikat kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak-kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis-gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.




Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat. 
Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. 


Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
Keramahan suku  Baduy





Foto ayah saya bersama suku baduy


Di Indonesia terdapat suku Baduy, masyarakat suku baduy terkenal ramah dan sopan santun. Kerukunan suku baduy sangat harus diterapkan dikehidupan sehari-hari.  menjelajahi hutan yang subur dan pemandangan yang masih alami karena orang-orang Baduy sangat mencintai alam sehingga begitu terjaga kelestariannya. Anda bisa mengambil gambar selama Anda belum memasukkan wilayah Baduy. Orang-orang di luar desa Baduy lebih toleran terhadap teknologi.Berbaur dengan penduduk lokal yang luar biasa ini adalah hal yang sangat berharga. Anda dapat mengamati gerak bahasa tubuh yang langsung dapat menggambarkan betapa mereka sangat peka dan ramah bersahaja.

Senin, 20 April 2015

Keindahan Alam di Baduy (Banten)

Keindahan alam di suku baduy yang sangat memukau

Foto om saya waktu di Baduy

  
Salah satu kampung suku Baduy yang bisa digunakan sebagai tempat menginap adalah kampung Gajeboh, beberapa orang dari Baduy Luar dan Baduy Dalam akan dengan senang hati membantu membawakan barang bawaan Anda, mereka berjalan seakan tanpa beban melalui jalanan yang kadang menanjak atau menurun. Agak masuk ke dalam perkampungan, mulai terlihat aliran sungai dengan airnya yang jernih. Gunung yang sangat asri di Baduy sangat menyegarkan hati, dan menyegarkan mata. Jika ingin berpergian ke alam, pilihan ini mungkin akan sangat menyenangkan dengan semua suku-suku Baduy yang ramah ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan terlupakan.


Foto Mama dan Adik saya waktu dalam perjalanan ke baduy

Gunung yang indah yang harus dilestarikan, Saya bangga menjadi anak Indonesia dengan keindahan alam yang sangat indah.

Jumat, 10 April 2015

Suku Baduy




Kali ini akan menjelaskan keanekaragaman Suku Baduy


Setiap suku memiliki pakaian yang berbeda dan keanekaragaman budaya yang berbeda. sekarang saya akan menjelaskan tentang suku baduy yang ada di Banten (Jawa Barat).

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.  




 Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C. 

Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. 

Asal Usul

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. 

Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).

 Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.